Minggu, 30 Maret 2014

tulisan softskill aspek hukum dalam ekonomi



TULISAN ASPEK HUKUM dalam EKONOMI (SOFTSKILL)
“PENYELESAIAN KREDIT MACET UKM MELALUI KEBIJAKAN HAPUS TAGIH”



HERNA SETIA (23212439)
2EB25

UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
S1 AKUNTANSI
BEKASI
2014

“PENYELESAIAN KREDIT MACET UKM MELALUI KEBIJAKAN HAPUS TAGIH”
PENDAHULUAN

Dengan telah diterbitkannya PP no. 33 tahun 2006 yang merupakan perubahan atas PP no.14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara / Daerah, berarti ada suatu kepastian hukum dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, khususnya bagi pengurusan piutang macet atau non performing loon (NPL) bank-bank BUMN, Dengan demikian pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan perusahaan Negara yang bersangkutan sesuai mekanisme koperasi.
Kredit macet (non performing loan), adalah kredit yang tidak mampu dilunasi oleh debitur, baik bunga maupun pokoknya. Kredit macet biasanya disebabkan oleh adanya kesulitan keuangan yang dialami debitir akibat meningkatnya beban bunga dan pokok. Penyelesaian kredit macet dapat dilakukan melalui pendekatan litigasi (hukum) dan pendekatan non-litigasi atau out of court settlement.
Penekatan litigasi akan menyerap biaya yang cukup besar (costly), serta memakan waktu yang lama karena adanya proses hukum, sedangkan pendekatan non-litigasi menyerap biaya yang relative lebih kecil (costless)serta memakan waktu yang relative lebih singkat. Upaya penyelesaian non-litigasi dapat ditempuh melalui proses mediasi.
Mediasi atau asistensi adalah proses untuk menengah masalah antara kreditur dan debitur akibat adanya kesenjangan informasi (asymatric information).



PEMBAHASAN

Pada pasal 2 ayat 1a pada PP 33 tahun 2006 tersebut, maka perusahaan Negara dapat melakukan penghapusan piutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang Perseroan Terbatas (PT) dan BUMN beserta peraturan pelaksanaannya.
Kewenangan BUMN untuk mengelola kekayaan Negara yang dipisahkan tersebut sesuai dengan pasal 4 ayat 1 UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN. Namun sesuai mekanisme korporasi, setiap keputusan yang akan diambil harus termasuk penghapusan piutang BUMN harus melalui persetujuan RUPS. PP 33 Tahun 2006 juga memberikan ketegasan bahwa pengaturan pengelolaan BUMN melalui mekanisme koperasi, maka dicapai kesamaan level of playing field antara bank BUMN dan bank swasta. Hal ini tentunya memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan kinerja bank BUMN dalam menjaga tingkat kesehatan bank. Pemerintah juga telah membentuk Komite Pengawas yang bertugas memonitor pelaksanaan pengurusan non performing loan untuk memastikan dilaksanakannya good corporate governance.
Kehadiran PP tersebut, sangat ditunggu-tunggu kalangan banker BUMN terkait penanganan kredit bermasalah (non performing loan / NPL) di bank tersebut. Sesuai matriks Paket Kebijakan Sektor Keuangan, hasil revisi PP No. 14/2005 seharusnya keluar pada juli 2006, namun baru diundangkan pada 6 oktober 2006. Selama ini, banker-bankir BUMN mengeluhkan sulitnya merestrukturisasi kredit bermasalah karena terganjal PP No. 14/2005 yang menganggap piutang BUMN sebagai piutang Negara. Restrukturisasi kredit BUMN selain harus mengacu pada UU No 17/2003 tentang keuangan Negara konsekuensinya, jika terjadi kasus dalam restrukturisasi kredit, bankir BUMN bisa dituduh merugikan Negara dan berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi dengan ancamannya sanksi pidana berupa penjara, bankir BUMN juga tidak dapat menjual asset debitur di bawah 50% dari nilai kredit Karena ancaman tuduhan merugikan Negara.
Berbeda dengan bankir swasta, mereka dapat melakukan restruktuisasi kredit lebih luwes, bahkan melakukan hair cut kalau terjadi kasus dalam restrukturisasi, bankir swasta akan berhadapan dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dan sanksinya adalah pemecatan. Kondisi ini menyebabkan bankir BUMN ketakutan melakukan restrukturisasi kreditnya sehingga NPL terus meningkat dari tahun ke tahun. Per Juli 2006, posisi NPL bank BUMN mencapai Rp 42, 48 trilliun, atau 70,4% dari total NPL bank umum.
Dua pasal PP No 33/2006 terdiri atas dua pasal. Pasal 1 menyebutkan, ketentuan pasal 19 dan pasal 20 dalam PP No 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara / Daerah, dihapus. Inti dari pasal 19 dan pasal 20 PP No 14/2005 adalah penghapusan piutang BUMN harus dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 19/2003 Tentang BUMN, dan UU No 1/1995 tentang PT. Sebagai gantinya, dalam pasal 2 ayat 1a PP No 33/2006 disebutkan, pengurusan piutang Negara/daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di bidang PT dan BUMN beserta pelaksanaanya.
Sementara itu, pasal 2 ayat 1b pada intinya menegaskan, piutang Negara/daerah yang telah diserahkan ke Ditjen Piutang dan Lelang Negara sebelumnya tetap mengacu PP 14/2005. Sedangkan pasal 2 ayat 2 berbunyi, PP No 33/2006 berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 6 oktober 2006.
Gagasan untuk memberikan haircut bagi utang UKM didasarkan pada target penyelesaian utang sebanyak lebih 1.047.000 pengusaha UMKM yang memiliki utang dibawah Rp 5 milliar disemua bank BUMN. Sekitar sejuta UKM itu memiliki total utang sekitar Rp 17,9 trilliun. Adapun total utang UMKM dibawah Rp 5 milliar pada 4 BUMN, rinciannya adalah Bank Mandiri nilainya Rp 6,5 trilliun dari 88 ribu debitur, BNI Rp 2,21 trilliun dari 24 ribu debitur, BRI Rp 7,09 trilliun dari 796 debitur, BTN Rp 1,29 trilliun dari 138 ribu debitur.
Meskipun PP No. 33/2006 telah ditrbitkan, namun Bank-Bank BUMN masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan haircut utang UKM. Hal tersebut dikarenakan PP 33/2006 dinilai bertentangan dengan UU No.49 Tahun 1960 tentang panitia urusan piutang Negara menurut sebagian pendapat. Dalam rangka menyelesaikan kesulitan bankir membantu penyelesaian utang UKM, maka pada tanggal 9 oktober 2008 telah dilakukan rapat dikantor Wapres yang dihadiri oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM, 4 Dirut Bank BUMN, Gubernur BI, Kepala BPK, Kepala BPKP, Jaksa Agung, Kapolri, Mentri Kelautan dan Perikanan, Mentan dan Menperin. Hasil pertemuan adalah berupa kesepakatan dalam rangka Penyelesaian Kredit macet UMKM pada Bank-Bank BUMN.


PENUTUP

Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka diharapkan haircut utang UKM dapat meningkatkan kehidupan sektor rill kita. Selain itu UMKM juga bisa lebih leluasa untuk memutar usahanya. Selain itu program ini nantinya bisa berbentuk menghapus seluruh hutang, menghapus sebagian utang, bunga utang. Program ini juga memiliki keuntungan debitur yang memiliki utang itu dapat menarik agunan ke bank untuk kembali memulai usahanya yang macet.

Dengan demikian seharusnya perlu adanya bantuan yang diberikan pemerintah dalam menangani secara serius untuk menghidupkan atau mengembangkan kembali dalam hal penelitian atau pengawasan yang lebih ketat dan rutin, walaupun diberi keringanan harus ada pengawasan dan pembinaan yang ketat dari pemerintah atau badan yang telah berdiri  (otoritas jasa keuangan), OJK adalah badan idependen, OJK inilah yang lebih mengawasi dan melakukan pembinaan pada permasalahan kredit macet UKM.


DAFTAR PUSTAKA

·        Akhmad junsidi SE,.ME :Panduan restrukturisasi usaha, kementrian Negara koperasi dan usaha kecil dan menengah republik Indonesia, Jakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar