TULISAN ASPEK HUKUM
dalam EKONOMI (SOFTSKILL)
“PENYELESAIAN KREDIT
MACET UKM MELALUI KEBIJAKAN HAPUS TAGIH”
HERNA SETIA
(23212439)
2EB25
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
EKONOMI
S1
AKUNTANSI
BEKASI
2014
“PENYELESAIAN KREDIT
MACET UKM MELALUI KEBIJAKAN HAPUS TAGIH”
PENDAHULUAN
Dengan telah diterbitkannya PP no. 33 tahun 2006 yang
merupakan perubahan atas PP no.14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara / Daerah, berarti ada suatu kepastian hukum dalam pengelolaan
kekayaan Negara yang dipisahkan, khususnya bagi pengurusan piutang macet atau
non performing loon (NPL) bank-bank BUMN, Dengan demikian pengelolaan kekayaan
Negara yang dipisahkan pada BUMN tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan
perusahaan Negara yang bersangkutan sesuai mekanisme koperasi.
Kredit macet (non performing loan), adalah kredit yang tidak
mampu dilunasi oleh debitur, baik bunga maupun pokoknya. Kredit macet biasanya
disebabkan oleh adanya kesulitan keuangan yang dialami debitir akibat
meningkatnya beban bunga dan pokok. Penyelesaian kredit macet dapat dilakukan
melalui pendekatan litigasi (hukum) dan pendekatan non-litigasi atau out of
court settlement.
Penekatan litigasi akan menyerap biaya yang cukup besar
(costly), serta memakan waktu yang lama karena adanya proses hukum, sedangkan
pendekatan non-litigasi menyerap biaya yang relative lebih kecil
(costless)serta memakan waktu yang relative lebih singkat. Upaya penyelesaian
non-litigasi dapat ditempuh melalui proses mediasi.
Mediasi atau asistensi adalah proses untuk menengah masalah
antara kreditur dan debitur akibat adanya kesenjangan informasi (asymatric
information).
PEMBAHASAN
Pada pasal 2 ayat 1a pada PP 33 tahun 2006 tersebut, maka
perusahaan Negara dapat melakukan penghapusan piutang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang Perseroan Terbatas (PT) dan
BUMN beserta peraturan pelaksanaannya.
Kewenangan BUMN untuk mengelola kekayaan Negara yang
dipisahkan tersebut sesuai dengan pasal 4 ayat 1 UU No 19 tahun 2003 tentang
BUMN. Namun sesuai mekanisme korporasi, setiap keputusan yang akan diambil
harus termasuk penghapusan piutang BUMN harus melalui persetujuan RUPS. PP 33
Tahun 2006 juga memberikan ketegasan bahwa pengaturan pengelolaan BUMN melalui
mekanisme koperasi, maka dicapai kesamaan level of playing field antara bank
BUMN dan bank swasta. Hal ini tentunya memiliki pengaruh yang positif terhadap
peningkatan kinerja bank BUMN dalam menjaga tingkat kesehatan bank. Pemerintah
juga telah membentuk Komite Pengawas yang bertugas memonitor pelaksanaan
pengurusan non performing loan untuk memastikan dilaksanakannya good corporate
governance.
Kehadiran PP tersebut, sangat ditunggu-tunggu kalangan banker
BUMN terkait penanganan kredit bermasalah (non performing loan / NPL) di bank
tersebut. Sesuai matriks Paket Kebijakan Sektor Keuangan, hasil revisi PP No.
14/2005 seharusnya keluar pada juli 2006, namun baru diundangkan pada 6 oktober
2006. Selama ini, banker-bankir BUMN mengeluhkan sulitnya merestrukturisasi
kredit bermasalah karena terganjal PP No. 14/2005 yang menganggap piutang BUMN
sebagai piutang Negara. Restrukturisasi kredit BUMN selain harus mengacu pada
UU No 17/2003 tentang keuangan Negara konsekuensinya, jika terjadi kasus dalam
restrukturisasi kredit, bankir BUMN bisa dituduh merugikan Negara dan
berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi dengan ancamannya
sanksi pidana berupa penjara, bankir BUMN juga tidak dapat menjual asset
debitur di bawah 50% dari nilai kredit Karena ancaman tuduhan merugikan Negara.
Berbeda dengan bankir swasta, mereka dapat melakukan
restruktuisasi kredit lebih luwes, bahkan melakukan hair cut kalau terjadi
kasus dalam restrukturisasi, bankir swasta akan berhadapan dengan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Dan sanksinya adalah pemecatan. Kondisi ini menyebabkan
bankir BUMN ketakutan melakukan restrukturisasi kreditnya sehingga NPL terus
meningkat dari tahun ke tahun. Per Juli 2006, posisi NPL bank BUMN mencapai Rp
42, 48 trilliun, atau 70,4% dari total NPL bank umum.
Dua pasal PP No 33/2006 terdiri atas dua pasal. Pasal 1
menyebutkan, ketentuan pasal 19 dan pasal 20 dalam PP No 14/2005 tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Negara / Daerah, dihapus. Inti dari pasal 19 dan pasal
20 PP No 14/2005 adalah penghapusan piutang BUMN harus dilakukan sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No 17/2003 tentang Keuangan
Negara, UU No 19/2003 Tentang BUMN, dan UU No 1/1995 tentang PT. Sebagai
gantinya, dalam pasal 2 ayat 1a PP No 33/2006 disebutkan, pengurusan piutang
Negara/daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di
bidang PT dan BUMN beserta pelaksanaanya.
Sementara itu, pasal 2 ayat 1b pada intinya menegaskan,
piutang Negara/daerah yang telah diserahkan ke Ditjen Piutang dan Lelang Negara
sebelumnya tetap mengacu PP 14/2005. Sedangkan pasal 2 ayat 2 berbunyi, PP No
33/2006 berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 6 oktober 2006.
Gagasan untuk memberikan haircut bagi utang UKM didasarkan
pada target penyelesaian utang sebanyak lebih 1.047.000 pengusaha UMKM yang
memiliki utang dibawah Rp 5 milliar disemua bank BUMN. Sekitar sejuta UKM itu
memiliki total utang sekitar Rp 17,9 trilliun. Adapun total utang UMKM dibawah
Rp 5 milliar pada 4 BUMN, rinciannya adalah Bank Mandiri nilainya Rp 6,5
trilliun dari 88 ribu debitur, BNI Rp 2,21 trilliun dari 24 ribu debitur, BRI
Rp 7,09 trilliun dari 796 debitur, BTN Rp 1,29 trilliun dari 138 ribu debitur.
Meskipun PP No. 33/2006 telah ditrbitkan, namun Bank-Bank
BUMN masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan haircut utang UKM. Hal
tersebut dikarenakan PP 33/2006 dinilai bertentangan dengan UU No.49 Tahun 1960
tentang panitia urusan piutang Negara menurut sebagian pendapat. Dalam rangka
menyelesaikan kesulitan bankir membantu penyelesaian utang UKM, maka pada
tanggal 9 oktober 2008 telah dilakukan rapat dikantor Wapres yang dihadiri oleh
Menteri Negara Koperasi dan UKM, 4 Dirut Bank BUMN, Gubernur BI, Kepala BPK,
Kepala BPKP, Jaksa Agung, Kapolri, Mentri Kelautan dan Perikanan, Mentan dan
Menperin. Hasil pertemuan adalah berupa kesepakatan dalam rangka Penyelesaian
Kredit macet UMKM pada Bank-Bank BUMN.
PENUTUP
Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka diharapkan haircut
utang UKM dapat meningkatkan kehidupan sektor rill kita. Selain itu UMKM juga
bisa lebih leluasa untuk memutar usahanya. Selain itu program ini nantinya bisa
berbentuk menghapus seluruh hutang, menghapus sebagian utang, bunga utang.
Program ini juga memiliki keuntungan debitur yang memiliki utang itu dapat
menarik agunan ke bank untuk kembali memulai usahanya yang macet.
Dengan demikian seharusnya perlu adanya bantuan yang
diberikan pemerintah dalam menangani secara serius untuk menghidupkan atau
mengembangkan kembali dalam hal penelitian atau pengawasan yang lebih ketat dan
rutin, walaupun diberi keringanan harus ada pengawasan dan pembinaan yang ketat
dari pemerintah atau badan yang telah berdiri
(otoritas jasa keuangan), OJK adalah badan idependen, OJK inilah yang
lebih mengawasi dan melakukan pembinaan pada permasalahan kredit macet UKM.
DAFTAR PUSTAKA
·
Akhmad junsidi SE,.ME :Panduan
restrukturisasi usaha, kementrian Negara koperasi dan usaha kecil dan menengah
republik Indonesia, Jakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar